LAMONGAN, iNewsLamongan.id - Mimpi Ali Mashadi (50) menghabiskan masa tua di kampung halaman terwujud. Bapak tiga anak asal Desa Gembong, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan itu berhenti merantau dan merintis usaha toko kelontong hingga bisa mendaftar haji.
Pukul 11.45 WIB, Ali Mashadi bersiap menuju masjid. Peci hitam dikenakan rapi, menutup sebagian rambutnya yang putih.
Zuhur segera tiba. Ali bergegas meninggalkan tokonya untuk menuju masjid Al Jihad yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya.
Di rumah sederhana itu Ali mendirikan toko kelontong berukuran 3x4 meter. Namanya Toko Barokah. Berbagai kebutuhan rumah tangga tersedia di sana. Ada sembako, rokok, sabun, elpiji, air, plastik hingga aneka kebutuhan rumah tangga lainnya.
Menjaga toko kelontong menjadi rutinitas Ali Mashadi sejak tujuh tahun terakhir. Di sela itu, mantan guru madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) ini juga ikut mengurus masjid.
Memutar tilawah di radio hingga mengumandangkan azan istikamah dilakukan setiap hari. Itu sebabnya, dia harus berangkat ke masjid lebih awal setiap kali masuk waktu salat.
“Kebagian azan. Jadi enggak boleh telat,” katanya kepada iNews.id, Minggu (21/4/2024).
Sejak tak lagi merantau, hari-hari Ali dihabiskan di toko dan masjid. Di luar itu dia juga membantu mengajari anak-anak kampung mengaji. Tugas ini rutin dilakukannya di serambi masjid selepas salat ashar.
Aktivitas tersebut kata Ali tidak pernah dilakukan selama merantau di Palembang, Sumatera Selatan pada 2011 silam. Selama lim tahun di bumi Sriwijaya, mayoritas waktunya habis di jalanan, kampung dan pasar.
Jangankan mengajar mengaji, salat Jemaah di masjid saja jarang dilakukan. Kesempatan itu hilang karena pekerjaan.
“Di sana (Palembang) saya jualan tempe keliling. Jadi pedagang asongan di kampung-kampung dan pasar. Gak sempat lagi ke masjid,” tuturnya.
Ali bercerita, merantau ke Palembang pada tahun 2011 silam merupakan keterpaksaan. Sebab, dua petak sawah warisan orang tuanya terjual karena utang, sehingga tidak ada sumber pendapatan. Sementara insentif sebagai guru madrasah juga kecil. Tak bisa diandalkan untuk biaya hidup dan sekolah ketiga anaknya.
Namun, apa yang didapat Ali selama di perantauan jauh dari harapan. Alih-alih bisa menyekolahkan ketiga anaknya hingga perguruan tinggi. Uang tabungannya justru habis untuk berobat.
Sebab, selama di Palembang dia sakit-sakitan. Kondisi itu membuatnya menyerah hingga memutuskan pulang ke kampung halaman. “Pikir saya kalau sampai terjadi apa-apa repot ngurusnya. Sebab, tidak ada kerabat di sana,” tuturnya.
Keputusan Ali untuk pulang ke kampung halaman ternyata tidak salah. Sebab, sakit yang diderita selama di perantauan berangsur sembuh. Lebih bahagia lagi, dia bisa kembali berkumpul dengan ketiga anaknya yang selama lima tahun dititipkan neneknya untuk pergi merantau.
Kendati demikian, masalah baru muncul. Sebab, belum ada sumber pendapatan baru selama di kampung. Situasi itu membuatnya bingung. Saking bingungnya dia berpikir untuk kembali merantau.
Tetapi, ketiga anaknya melarang. Mereka memberi saran agar orang tuanya tetap tinggal di kampung dengan membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Toh, ketiga anaknya juga sudah lulus SMA, sehingga beban tak terlalu berat.
“Waktu itu jual jajanan. Ada es dan aneka gorengan serta jajan kemasan. Jualnya di depan rumah,” tuturnya.
Bangkit Bersama KUR BRI
Lapak jajanan itulah yang menjadi awal kebangkitan ekonomi rumah tangga Ali. Banyaknya warga sekitar yang antusias membuatnya berpikir untuk membuat toko lebih besar setelah dua tahun berselang. Barang yang dijual tentu bukan hanya jajanan, melainkan semua kebutuhan rumah tangga.
Melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Babat, Ali meminjam modal lewat program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp10 juta. Modal tersebut digunakan untuk membuat toko serta belanja berbagai komoditas pokok lainnya.
Memanfaatkan teras rumah, Ali membuat toko ukuran 3x4 menghadap ke jalan. Pelan tapi pasti, toko yang dirintis sejak 2018 itu terus berkembang. Dari semula hanya jualan sembako, toko yang diberi nama Barokah itu kini menyediakan semua aneka kebutuhan rumah tangga.
Meski berskala kecil (eceran), Ali merasakan betul keberadaan toko tersebut. Dalam sehari misalnya, Toko Barokah miliknya bisa meraup omzet hingga Rp1 juta.
Karena itu, Ali bersyukur dengan apa yang didapat hari ini. Usaha toko kelontong terus mengalirkan rezeki. Sementara kondisi batinnya juga makin tenang dengan mengurus masjid dan menjadi guru ngaji.
Kebahagiaan Ali juga membuncah karena bisa menyisihkan untung dari toko untuk daftar haji. Mimpi itu sudah lama dia bangun, sejak masih remaja dulu.
“Semoga cukup umur. Bisa berangkat ke tanah suci bersama istri,” katanya.
Ali mengaku sudah dua kali mengajukan kredit lewat KUR BRI. Pinjaman kedua lebih besar, yakni Rp25 juta. Kredit permodalan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) itu dipilih karena dianggap mudah dan ringan. Mudah dalam proses pencairan dan ringan dalam angsuran.
“Saya pinjam dengan jangka waktu pengembalian 3 tahun. Kalau dihitung, bunganya tidak sampai Rp2 juta,” katanya.
Sukses Ali mendirikan usaha toko kelontong juga diikuti warga lainnya. Saat ini misalnya, toko kelontong sejenis banyak berdiri di desa tempat tinggalnya. Minimal satu toko di tiap-tiap lingkungan (RT).
Diketahui, KUR merupakan program permodalan untuk membantu memberdayakan pelaku UMKM. Harapannya, para pelaku UMKM bisa naik kelas dan kesejahteraannya meningkat.
Direktur Bisnis Mikro BRI Supari dalam keterangan resminya, mengatakan, BRI menjadi bank dengan penyaluran KUR UMKM terbesar di Indonesia. Hingga triwulan ketiga 2023 misalnya, jumlah debitur KUR baru mencapai 1,44 juta.
“Jumlah tersebut melampaui target pemerintah, yakni 1,36 juta debitur KUR baru di tahun 2023,” katanya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta