BABAT, iNewsLamongan.id - Banjir kembali merendam kawasan Kota Wingko Babat, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/5/2025). Peristiwa ini menambah deretan panjang bencana serupa yang seolah telah menjadi tradisi tahunan setiap kali hujan deras mengguyur wilayah tersebut.
Puluhan tahun lamanya, warga di kawasan ini hidup berdampingan dengan ancaman banjir. Genangan air setiap musim hujan membanjiri permukiman penduduk, jalan raya, hingga fasilitas umum. Dampaknya tak hanya merusak infrastruktur, tapi juga mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk pelaku usaha kuliner yang banyak mangkal di sekitar lokasi terdampak.
Menurut Johan, salah satu warga Babat yang rumahnya tergenang, banjir ini bukan fenomena baru. Warga menyebut buruknya sistem drainase dan minimnya normalisasi sungai sebagai penyebab utama. Keluhan telah berulang kali disampaikan, namun tak kunjung ada perubahan berarti.
“Banjir ini sudah seperti tradisi. Kalau hujan lebat, ya pasti banjir. Tapi sampai sekarang belum ada langkah nyata. Kami hanya menerima bantuan saat banjir datang, tapi tak pernah diberi solusi agar tidak terus berulang,” ujar Johan kepada iNews.id.
Warga berharap ada tindakan konkret dan terencana dari pemerintah, bukan hanya penanganan darurat ketika banjir datang.
Lurah Babat, Faris, menjelaskan bahwa faktor geografis menjadi salah satu penyebab utama banjir di Babat. Ia menyebut kawasan tersebut berada di dataran rendah, mirip dengan kondisi Jakarta, sehingga rentan terhadap genangan.
“Kalau ditanggul, itu imbas dari luapan Bengawan Solo. Tapi kalau di Jalan Gotong Royong, itu karena wilayah kita memang rendah. Pompa air sudah kami operasikan sejak pukul 13.00 WIB, tapi curah hujan yang luar biasa dari pukul 14.00 WIB hingga sore membuat air tak tertampung,” jelasnya.
Faris menambahkan bahwa saat ini satu-satunya tempat penampungan air adalah Kali Konang. Namun, kondisi kali tersebut sudah dangkal dan membutuhkan normalisasi berkala.
“Rumah pompa di Bedahan salah satunya kami andalkan untuk mengurai genangan. Kami sudah bersinergi dengan Kecamatan, DLH, dan PU SDA. Dana kelurahan sejak 2023 kami maksimalkan untuk saluran air dan peningkatan jalan. PU SDA juga sudah melakukan normalisasi Kali Konang sisi timur,” pungkasnya.
Fenomena banjir di Babat mencerminkan persoalan klasik: lemahnya infrastruktur penanggulangan banjir di daerah. Menurut Dr. Ir. Muhammad Zainal, M.T., pakar hidrologi Universitas Brawijaya, penanganan banjir tak cukup hanya dengan rumah pompa atau pengerukan sungai sesekali.
“Perlu pendekatan sistemik. Drainase harus diperluas, kawasan resapan ditambah, dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) dilakukan menyeluruh. Banjir seperti ini akan terus terjadi jika tak ada perencanaan tata kota yang adaptif terhadap iklim ekstrem,” tegasnya.
Hingga kini, harapan warga akan solusi permanen terhadap banjir masih menggantung. Pemerintah daerah dinilai perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem drainase, melakukan normalisasi sungai secara berkala, dan menyiapkan sistem tanggap bencana yang lebih terintegrasi.
Banjir tahunan di Babat tidak lagi bisa dianggap hal biasa. Ia adalah cermin dari tantangan pembangunan daerah yang belum selesai. Di tengah perubahan iklim yang makin ekstrem, keterlambatan membenahi infrastruktur dasar bisa berakibat lebih fatal di masa depan.
Editor : Abdul Wakhid
Artikel Terkait