LAMONGAN,iNewsLamongan.id - How to Train Your Dragon adalah film animasi besutan DreamWorks yang tidak hanya menghibur secara visual, tetapi juga menyentuh secara emosional. Dirilis pertama kali pada tahun 2010, film ini menghadirkan kisah epik yang memadukan petualangan, drama keluarga, dan nilai-nilai toleransi yang kuat. Tak heran bila film ini terus dikenang sebagai salah satu karya animasi terbaik dalam dua dekade terakhir.
Cerita berpusat di Pulau Berk, sebuah tempat fiktif yang keras dan dipenuhi oleh makhluk mitologis bernama naga. Masyarakat Berk hidup dalam ketakutan dan permusuhan abadi terhadap naga, yang mereka anggap sebagai ancaman utama terhadap keberlangsungan hidup. Di tengah budaya yang menjunjung tinggi kekuatan fisik dan keberanian, hadir sosok Hiccup Horrendous Haddock III, seorang remaja lemah dan canggung yang merupakan putra pemimpin suku, Stoick the Vast.
Meski berasal dari garis keturunan pejuang, Hiccup justru merasa tidak cocok dengan peran yang diwariskan padanya. Ia lebih tertarik pada sains, eksperimen, dan memahami sesuatu melalui pendekatan rasional, bukan kekerasan. Suatu malam, ia berhasil menjatuhkan seekor naga legendaris bernama Night Fury—makhluk paling ditakuti yang belum pernah dilihat secara langsung.
Namun, alih-alih membunuh naga itu demi membuktikan diri, Hiccup justru memilih untuk menyelamatkannya. Ia memberi nama Toothless pada naga tersebut karena penampilannya yang unik. Hubungan antara keduanya menjadi titik balik dalam narasi film.
Melalui interaksi sehari-hari dengan Toothless, Hiccup mulai mempelajari perilaku naga secara lebih dalam. Ia menyadari bahwa naga bukanlah monster buas seperti yang selama ini dipercaya. Penemuan ini membawa dampak besar pada pelatihan naga di Pulau Berk. Diam-diam, Hiccup menerapkan pendekatan damai dan membuat kemajuan pesat dibandingkan rekan-rekannya yang masih memakai cara kekerasan.
Konflik memuncak ketika rahasia hubungan Hiccup dan Toothless terbongkar. Ayahnya merasa dikhianati, dan warga Berk menangkap Toothless untuk digunakan sebagai senjata melawan naga raksasa bernama Red Death. Dalam momen genting, Hiccup mengambil keputusan besar: melawan cara lama yang penuh kebencian dan memimpin revolusi kecil demi menyelamatkan manusia dan naga.
Film ini mencapai klimaks epik dalam pertarungan antara para pemuda Berk bersama naga mereka melawan Red Death. Hiccup membuktikan bahwa kerja sama dan empati jauh lebih kuat daripada kekuatan otot semata. Ia pun akhirnya diterima oleh masyarakatnya, bukan karena mengikuti tradisi, tetapi karena membawa perubahan yang bermakna.
Psikolog anak dan remaja, Dr. Liana Kartika, M.Psi, menyebut film ini sebagai "contoh narasi yang membentuk kecerdasan emosional dan sosial anak sejak dini." Menurutnya, How to Train Your Dragon membantu anak-anak memahami pentingnya memahami perbedaan dan meruntuhkan stereotip yang diwariskan secara turun-temurun.
"Dalam budaya kita pun masih sering ditemukan label terhadap yang 'berbeda' sebagai sesuatu yang berbahaya. Film ini mengajarkan bahwa pemahaman dan dialog justru bisa menjadi jalan damai," ujar Dr. Liana.
Secara teknis, film ini juga mendapat pengakuan di berbagai ajang penghargaan internasional. Visual efek memukau, musik karya John Powell yang emosional, dan pengisi suara seperti Jay Baruchel dan Gerard Butler menjadikan film ini semakin kuat secara sinematik dan naratif.
Studio DreamWorks Animation, yang juga memproduksi Shrek dan Kung Fu Panda, dikenal sebagai pionir dalam menyuguhkan kisah-kisah anak yang berkelas namun tetap menghibur. Kredibilitas ini memperkuat kepercayaan penonton bahwa How to Train Your Dragon bukan hanya sekadar film anak-anak biasa, melainkan karya yang menanamkan nilai-nilai luhur melalui medium populer.
Film ini juga memicu dua sekuel lanjutan dan serial televisi, memperluas semesta ceritanya dan terus menjaga konsistensi kualitas serta nilai moralnya. Hal ini menjadi bukti bahwa How to Train Your Dragon bukan hanya sukses secara komersial, tetapi juga diterima secara budaya dan sosial.
How to Train Your Dragon adalah film yang menyentuh dan relevan di berbagai usia. Ia berbicara tentang keberanian untuk menjadi berbeda, memahami makhluk lain dengan hati, dan mengubah dunia dengan kasih sayang. Di tengah gempuran film-film bertema kekerasan, karya ini layak menjadi pilihan utama untuk keluarga yang mencari hiburan berkualitas dengan pesan mendalam.
Editor : Abdul Wakhid
Artikel Terkait