JAKARTA, Lamongan.iNews.id - Kenaikan suhu bumi yang kian tak terbendung telah mengantar krisis iklim penuh ancaman bagi kehidupan. Sejumlah mitigasi sudah dilakukan.
Pencairan es ekstrem, menghangatnya lautan, peningkatan kekuatan gelombang, penurunan muka tanah hingga kenaikan permukaan laut semakin menciptakan kesinambungan yang mendatangkan bencana-bencana tak terkira.
Wilayah pesisir jadi kawasan yang paling dekat merasakan imbasnya. Deru air laut lambat laun terus menggerus daratan, menenggelamkan permukiman demi permukiman.
Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rita Susilawati menjelaskan penurunan penurunan muka tanah dapat disebabkan dua faktor.
Pertama, faktor alam, seperti karakter atau sifat khas tanah tertentu misalnya tanah lempung yang berasal dari lingkungan rawa yang bersifat lunak. Di mana hal tersebut masih memungkinkan untuk terus memadat seiring waktu.
"Penurunan tanah akibat pemadatan alamiah dikenal sebagai konsolidasi atau kompaksi alamiah," kata Rita saat dihubungi MNC Portal, Selasa (31/5/2022).
Selanjutnya, kondisi tektonik yang berkaitan dengan dinamika aktivitas geologi secara regional yang menyebabkan tanah menjadi labil.
Kedua, faktor non alamiah akibat aktivitas manusia. Rita mencontohkan, seperti pengambilan air tanah yang berlebihan melebihi kemampuan daya suplai lapisan air dan pembebanan bangunan juga menyebabkan permukaan tanah
"Maksudnya beban bangunan yang melebihi kapasitas daya dukung tanah pondasinya," ujarnya.
Rita menyebut, pemerintah dalam hal ini telah melakukan berbagai langkah mitigasi dalam mengatasi penurunan muka tanah. Pertama, pemerintah telah melakukan monitoring untuk mengetahui bagaimana pola dan sebaran dari penurunan tersebut sehingga diketahui perbandingan mana yang akan lebih cepat mengalami penurunan antara lokasi satu ke lokasi yang lain.
"Informasi ini merupakan informasi penting untuk melakukan pengaturan tata ruang dan juga menyusun strategi adaptasi masa mendatang," kata dia.
Kedua, membuat hunian yang bisa beradaptasi dengan efek lanjutan penurunan tanah seperti genangan air baik dari banjir ataupun rob. Misalnya, merencanakan desain bangunan yang fleksibel dengan efek penurunan tanah.
"Secara komunal sebaiknya merencanakan membuat benteng untuk melindungi dari ancaman rob dekat pesisir pantai misalnya dengan tanggul laut. Juga dengan membangun sistim pemompaan," tuturnya.
Sementara itu, lanjutnya, jika penyebab utamanya adalah faktor non alamiah, pihaknya telah membuat kebijakan dalam eksploitasi pengambilan air tanah. Diantaranya, membuat batasan maksimal pengambilan debit air tanah harian yang diperbolehkan agar tidak menggangu kesetimbangan pada lapisan air di dalam tanah.
"Tidak mengizinkan pengambilan air tanah jika terindikasi lokasi tersebut pada kondisi kritis atau lapisan air perlu segera di konservasi," katanya.
Selanjutnya, memanfaatkan air permukaan sebagai air baku masyarakat, misalnya dengan memanfaatkan suplai air dari bendungan atau air hujan bahkan teknologi pemurnian air laut jika hal tersebut masih bernilai ekonomis dibandingkan dengan penggunaan air tanah.
"Juga beban bangunan pada umumnya bersifat lokal dan memiliki rentang waktu yang relatif singkat untuk stabil (tidak turun). Mitigasi akibat beban bangunan bisa berupa rekayasa engineering atau membuat kebijakan beban bangunan yang diijinkan pada lokasi tertentu," pungkasnya.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait