JAKARTA, iNewsLamongan.id - Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN Aidit atau Dipa Nusantara Aidit hancur lebur setelah peristiwa 30 September 1965 atau G30S PKI meledak. PKI yang masuk lima besar dalam perolehan suara Pemilu 1955, yakni bersaing ketat dengan PNI, Masyumi, NU, dan PSI, lumpuh secara organisasi.
Dalam situasi kacau, pada 1 Oktober 1965 banyak tokoh PKI yang kemudian berpencar, melakukan penyelamatan diri masing-masing, termasuk DN Aidit. Dia kabur ke wilayah Jawa Tengah yang merupakan basis suara PKI dalam Pemilu 1955.
Aidit merupakan menteri koordinator dan sekaligus wakil ketua MPRS. Di persembunyiannya dia berharap besar adanya penyelesaian politik dari Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Karenanya dalam situasi diburu, Aidit mencoba terus bertahan. Kusno, pengawal pribadi Aidit yang kemudian tertangkap dan dibui, menceritakan hal itu.
"Aidit hidup dalam keadaan dikejar-kejar, karena penyelesaian politik yang diharapkan dari Presiden Soekarno tidak kunjung tiba," kata Kusno seperti dikutip dari buku G30S Dan Kejahatan Negara.
Selama dikejar-kejar, kondisi fisik Aidit kurang bagus. Menurut Kusno, ia tidak bisa berjalan kaki jarak jauh. Kakinya lecet kena sepatu yang dipakainya, sehingga beberapa kali terpaksa digendong Kusno.
Pemandangan Aidit digendong Kusno dari satu desa ke desa lain menarik perhatian orang lain. "Apalagi ternyata Aidit di saat persembunyian itu masih mengenakan pakaian menteri".
Pada pertengahan Oktober 1965, Kusno diperintah Aidit untuk mencari kontak ke Jakarta. Kusno meninggalkan Aidit di rumah anggota PKI Jawa Tengah.
Seminggu sebelum penangkapan, Munir, salah seorang tokoh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), mengaku sempat bertemu Aidit. Munir yang kelak tertangkap dalam operasi militer di Blitar Selatan, melihat Aidit sudah kehilangan semangat.
Dalam perbincangan singkatnya, dia melihat Aidit terlihat panik. Juga tidak tampak isyarat hendak melanjutkan perjuangan. Munir tidak menerima petunjuk apa pun dari ketua partainya. Yang banyak terlihat dari Aidit justru rasa penyesalannya.
"Borjuasi memang kuat betul, sudah digoyang-goyang begitu rupa belum juga bisa tumbang," kata DN Aidit seperti dikutip dari G30S Dan Kejahatan Negara.
Munir yang pada tahun 1967-1968 terlibat aktif mempraktikkan tesis Kritik Oto Kritik (KOK) Sudisman di Blitar Selatan, Jawa Timur menyimpulkan DN Aidit bukan seorang pemimpin yang tangguh.
Meski berhasil membawa PKI dalam perolehan suara lima besar di Pemilu 1955, Aidit bukan pemimpin yang berpengalaman dalam memimpin aksi massa. Bahkan, memimpin sebuah aksi buruh dalam memperjuangkan tuntutan, kata Munir juga tidak pernah.
Kurangnya pengalaman dalam memimpin gerakan menyebabkan Aidit tak bisa menemukan jalan keluar saat partainya berantakan. Dia juga tidak sanggup memberi petunjuk konkret untuk dilaksanakan anak buahnya. Pada 22 November 1965, DN Aidit tertangkap.
Pimpinan tertinggi PKI itu dibekuk di wilayah Solo, Jawa Tengah, di rumah Kasim alias Harjo Martono warga setempat. Dalam perjalanan menuju ke Jakarta, DN Aidit dieksekusi di wilayah Boyolali, Jawa Tengah. Kabar yang beredar, tokoh PKI itu ditembak mati di dekat sumur tua di tengah kebun pisang.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait